Sastra Wayang sebagai Pusaka Budaya: UAD Hadirkan Prof. Dr. Aprinus Salam, S.S., M.Hum. dalam Kuliah Umum
Yogyakarta, 18 Juli 2025 — Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kembali menggelar kuliah umum bertema budaya dan kesusastraan. Kali ini, kuliah umum mengangkat tema Sastra Wayang, dengan menghadirkan narasumber terkemuka, Prof. Dr. Aprinus Salam, S.S., M.Hum., dosen Magister Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM).
Acara yang digelar secara daring melalui Google Meet pada Jumat (18/7) pukul 13.30 WIB ini disambut hangat oleh para dosen dan mahasiswa. Dalam sambutannya, Wachid Eko Purwanto, S.Pd., M.A., selaku dosen PBSI UAD, menyampaikan rasa hormat dan kebanggaannya atas kehadiran Prof. Aprinus. “Beliau adalah guru kami saat kuliah di UGM. Kami menyebut beliau mbah guru karena peran pentingnya dalam perjalanan akademik kami,” ujar Wachid. Ia juga menambahkan bahwa kata “kami” merujuk pada beberapa dosen PBSI UAD, yakni dirinya bersama Yosi, Fitri, dan Ardi, yang pernah menjadi mahasiswa Prof. Aprinus semasa studi di UGM.
Dipandu oleh moderator Fitri Merawati, M.A., kuliah umum ini membedah ragam aspek Sastra Wayang dari sisi historis, bentuk, serta fungsi sosial dan budaya. Prof. Aprinus membuka materi dengan mengulas sejarah panjang wayang di Indonesia, yang diyakini berkembang sejak abad ke-4 atau ke-5 Masehi, seiring masuknya pengaruh Hindu dengan kisah-kisah seperti Ramayana dan Mahabharata. Beberapa sumber lain menyebutkan akar sejarah ini baru muncul sekitar abad ke-9, yang terlihat dalam relief dan struktur candi-candi Hindu.
“Wayang tidak hanya sebagai seni pertunjukan, tetapi juga sebagai teks budaya yang kaya akan nilai sastra,” jelas Prof. Aprinus.
Ia menjelaskan bahwa kajian sastra wayang mencakup berbagai dimensi, mulai dari sejarah dan persebarannya, bahan dan bentuk media, hingga peran dhalang dan pendukung pertunjukan. Sastra wayang juga hidup sebagai tradisi lisan, namun banyak pula yang dituangkan dalam bentuk teks tertulis.
Lebih lanjut, Prof. Aprinus menyoroti perbedaan antara sastra wayang dan sastra pada umumnya. Penokohan dalam sastra wayang, misalnya, sudah bersifat tetap dan simbolik, berkaitan erat dengan mitologi dan pakem-pakem tradisional. Demikian pula alur cerita yang telah memiliki pola baku (pakem), namun juga dapat dikembangkan menjadi carangan (cerita turunan) yang membuka ruang interpretasi baru.
Ia juga menekankan pentingnya memahami setting tempat dalam sastra wayang seperti Amarta, Hastina, Alengka, dan lainnya. Tempat-tempat ini bukan sekadar lokasi geografis, melainkan juga menyimpan makna simbolik dan nilai-nilai filosofis.
Dari sisi tematik, sastra wayang memiliki ruang eksplorasi yang luas, tidak jauh berbeda dari karya sastra modern. Namun, kajian konteks — baik internal maupun eksternal — menjadi penting. Konteks internal mengacu pada peristiwa dalam teks, sementara konteks eksternal mencakup siapa penulisnya, kapan karya dibuat, serta latar sosial dan budaya yang melingkupinya.
Kuliah umum ini tidak hanya menjadi ruang diskusi ilmiah, tetapi juga bentuk pelestarian terhadap warisan budaya yang kian terpinggirkan. Para peserta, baik dosen maupun mahasiswa, terlihat antusias mengikuti sesi tanya jawab yang berlangsung interaktif.
Melalui kuliah ini, PBSI UAD berharap mahasiswa semakin terdorong untuk menggali kekayaan lokal sebagai sumber inspirasi dan objek kajian sastra. “Wayang bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntunan—dan tentu saja, sebuah teks budaya yang patut terus dikaji,” tutup Prof. Aprinus.